Hunian milik paranormal Ki Joko Bodo memang berbeda. Hunian yang
bertajuk ”Istana Wong Sintinx” ini berdiri megah. Bagaimana desainnya?
Ganjil memang, Ki Joko Bodo memberi judul yang terpampang secara
mencolok di dinding depan rumahnya yang berada di bilangan Lubang Buaya,
Jakarta Timur. Dengan tajuk ”Istana Wong Sintinx” (Istana Orang Gila).
Sengaja menggunakan huruf ”x”, bukan ”g”, judul rumahnya itu terlihat
lebih ”sinting”.
”Istana Wong Sintinx bermakna sebagai orang yang paling
penting dalam
berkarya. Dalam artian, karena banyak orang-orang sinting datang ke
sini yang punya problem,” kata pria yang mengaku reinkarnasi dari Ki
Joko Bodo—yang meninggal ratusan tahun lalu—ini mengawali pembicaraan.
Sehari-hari, Ki Joko Bodo lebih dikenal sebagai paranormal.
Tak banyak yang tahu bahwa dia juga arsitek autodidak. ”Saya sendiri
yang merancang rumah ini. Saya ingin menjadikannya sebagai monumen Ki
Joko Bodo seperti Candi Borobudur atau Prambanan,” papar pria berambut
acak-acakan itu. Begitu memasuki halaman rumah, kita akan segera
disambut oleh dinding depan yang berpahat relief mirip candi-candi.
Relief itu bercerita tentang peristiwa-peristiwa penting dalam
perjalanan hidup Ki Joko Bodo.
Mulai dari masa kecilnya, peristiwa-peristiwa penculikan kakaknya,
kemudian keinginan Ki Joko Bodo yang ingin menjadi bintang film, proses
bertapa yang dilakukan sampai seluruh Nusantara hingga menjadi Ki Joko
Bodo yang dikenal sekarang.
Menurut pengakuannya, puri ini dia bangun sedikit demi sedikit selama
tiga tahun, sesuai dengan dana yang dimilikinya. Sekarang pun rumah itu
masih terus mengalami penyempurnaan. Utamanya bagian relief karena
fragmen akan terus bertambah seiring dengan perjalanan hidupnya.
Dari samping kanan, istana ini menyiratkan rumah berarsitektur
tradisional Bali. Dengan permainan batu alam dan material alam lainnya,
tampilan arsitektur Bali melengkapi fasad depan. Tampak kehadiran gazebo
Bali atau yang akrab dikenal dengan nama Bale Bengong lengkap dengan
ukiran-ukiran yang banyak dan menggunakan warna dengan pahatan yang
khas. Dari samping kiri, rumah yang dibangun di atas tanah seluas 2.000
meter persegi ini tampak lebih unik lagi. Atapnya berbentuk limas
bersusun, mengingatkan kita pada bentuk atap Masjid Demak, tetapi bodi
bangunan lebih mirip candi-candi di Jawa.
Desain unik ini semakin lengkap melalui kehadiran simbol burung hantu
dan ular naga di bagian teratas. Ini diyakini pria yang lahir di
Singaraja, 45 tahun silam itu, sebagai perlambang kekuasaan yang ada di
dalam negeri ini. Sementara untuk alasan pemilihan bangun limas bersusun
empat diyakini oleh suami dari Dalimah ini sebagai filosofi kiblat
papat, sedulur pancer yang menggambarkan proses hidup manusia yang
berasal dari tanah, lalu kembali ke tanah lagi. ”Di bagian teratas dari
atap hunian ini ada simbol burung hantu yang di bawahnya ada ular.
Maksudnya selama ini kekuasaan itu punya kebebasan mencaplok
sana-sini. “Sama seperti kekuasaan di negeri ini,” sebutny. Menapaki
area lain huniannya, tampak di bagian kanan terdapat ”Taman Sesaji”
tempat untuk menyiapkan sesajen. Area ini juga biasa berfungsi sebagai
ruang tunggu para tamu. Jalan masuknya berupa gerbang yang tersusun dari
batu-batu karang.
Di sekelilingnya bertebaran gua-gua yang gemerlap dengan efek cahaya
lampu warna-warni. Masuk ke dalam Taman Sesaji, kita serasa berada di
relung gua. Di dalamnya terdapat 12 kursi dan dua meja. Semuanya terbuat
dari akar-akar pohon yang bentuknya tak beraturan. Namun, justru dari
ketidakteraturan itulah keindahan dimulai. Di bagian kiri rumah terdapat
Teater Ritual. Bentuknya mengingatkan kita pada panggung teater zaman
Yunani kuno: sebuah panggung di tengah yang dikelilingi undak-undakan
sebagai tempat duduk. Sesuai dengan namanya, tempat itu memang sering
dipakai untuk acara-acara ritual.
Di dalam area ini juga pemilik nama asli Agung Yulianto itu biasa
menyelenggarakan acara sembelih kurban, doa minta hujan, dan doa tolak
banjir. Banyak unsur budaya berperan di sini. Relief dinding digarap
oleh para perajin ukir dari Muntilan. Patung-patung yang bertebaran di
sekeliling rumah dipahat oleh para pematung Bali. Ukiran kayunya
dikerjakan oleh para pemahat dari Jepara. Komponen bebatuannya
didatangkan dari Gunung Merapi. Bagian-bagian yang terbuat dari logam
digarap oleh para perajin besi dari Boyolali. Tak hanya banyak unsur
budaya, juga banyak simbol keagamaan bertemu di sini.
Selain tulisan Arab, corak mesjid, dan salib, di sekeliling rumah
juga penuh dengan arca dan stupa. Meski milik orang ”gila”, rumah ini
bisa dijadikan cermin bagi orang waras. Tepat di gerbang Teater Ritual,
ada prasasti bertuliskan: ”Berdoalah! Sebab ...kita hina dan kecil di
hadapan-Nya”. Di gerbang Taman Sesaji, lain lagi petuahnya: ”Mencari
dunia, lalu mencari Tuhan. Itu jalan terbaik untuk kembali kepada-Nya.”
Sumber : okezone.com